Tujuan Penelitian Pendidikan

Sabtu, 06 November 2010




I. PENGERTIAN DAN TUJUAN PENELITIAN SECARA UMUM

Penelitian secara umum diartikan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah. Secara umum, penelitian bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap persoalan yang signifikan, melalui prosedur-prosedur ilmiah (Rachman, 1993:13). Sedangkan menurut Sukmadinata (2009:5), penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan, mengembangkan dan menguji teori.

Berdasarkan pendapat Rachman dan Sukmadinata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan logis pada pengkajian suatu masalah.

Sugiyono dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R & D” (2009:3) mengemukakan bahwa setiap penelitian mempunyai tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan penelitian ada tiga macam yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian, dan pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum pernah diketahui. Pembuktian berarti data yang diperoleh itu dipergunakan untuk membuktikan adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu, dan pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan yang telah ada.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan umum penelitian adalah untuk menemukan, membuktikan, dan mengembangkan suatu persoalan atau pengetahuan dengan menggunakan prosedur-prosedur ilmiah.

II. PENELITIAN PENDIDIKAN

Menurut Sugiyono (2007:7), jenis-jenis penelitian dibedakan menjadi lima kategori, yaitu berdasarkan bidangnya, tujuannya, metodenya, tingkat eksplanasinya, dan waktunya. Sedangkan peneltian pendidikan termasuk jenis penelitian berdasarkan bidangnya.

Penelitian pendidikan merupakan suatu kegiatan yang diarahkan kepada pengembangan pengetahuan ilmiah tentang kejadian-kejadian yang menarik perhatian pendidikan (Rachman, 1993:13). Secara umum tujuan penelitian pendidikan adalah untuk menemukan prinsip-prinsip umum, atau penafsiran tingkah laku yang dapat dipakai untuk menerangkan, meramalkan, dan mengendalikan kejadian-kejadian dalam lingkungan pendidikan (Rachman, 1993:13).

Ada beberapa jenis penelitian pendidikan, diantaranya adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas menurut Lembaga Pengembangan Pendidikan Profesi (LP3) Universitas Negeri Semarang (2007:9-11) adalah suatu bentuk inkuiri atau penelitian yang dilakukan melalui refleksi diri. Tujuan melakukan penelitian tindakan kelas adalah meningkatkan dan atau memperbaiki praktik pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melakukan berbagai tindakan alternatif dalam memecahkan persoalan pembelajaran di kelas.
Menurut Suyanto dan Hasan dalam Kasbolah (2001:21) tujuan penelitian tindakan kelas adalah untuk meningkatkan (1) Kualitas praktik pembelajaran di sekolah, (2) relevansi pendidikan, (3) mutu hasil pendidikan, dan (4) efisiensi pengelolaan pendidikan.

Sedangkan menurut Ditjen Dikti dalam Subyantoro (2009:89) tujuan penelitian pendidikan sebagai berikut:
1) Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah;
2) Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas;
3) Meningkatkan sikap professional pendidik dan tenaga kependidikan;
4) Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah dan LPTK, sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable);
5) Meningkatkan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan khususnya di sekolah dalam melakukan PBT;
6) Meningkatkan kerjasama professional di antara pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah dan LPTK.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka tujuan dari penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik pembelajaran di sekolah.

Selain penelitian tindakan kelas, penelitian pendidikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode atau pendekata, misalnya penelitian pendidikan dengan pendekatan kualitatif, kuantitatif, R & D, dan sebagainya. Jika penelitian pendidikan menggunakan pendekatan kuantitatif maka tujuannya adalah untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Jika penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif maka tujuannya adalah untuk menemukan hipotesis/teori (Sugiyono, 2007:38). Sedangkan jika penelitiannya menggunakan pendekatan R & D tujuannya untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2007:407). Tujuan penelitian pendidikan dengan pendekatan R & D (Researc and Development) secara spesifik dalam bidang pendidikan Menurut Wahab (2002) adalah untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan seperti: model-model kurikulum dan pembenaran, media pendidikan, model pengelolaan pendidikan, model bimbingan dan penyuluhan, evaluasi praktikum, dan sejenisnya.

Selain beberapa jenis penelitian pendidikan di atas, Muhadjir (1998:5) mengemukakan bahwa berdasarkan lingkup penelitian pendidikan terdapat lingkup penelitian pada tingkat kebijakan pendidikan. Untuk melakukan penelitian pada tingkat kebijakan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan. Tujuan penelitian kebijakan adalah untuk mengaitkan penelitian dengan nilai yang hendak diperjuangkan atau mengaitkan dengan keputusan-keputusan yang hendak direalisasikan.

III. TAHAP-TAHAP PENELITIAN PENDIDIKAN

Tahap-tahap penelitian pendidikan banyak ragamnya, bergantung pada pendekatan yang digunakan. Sebagaimana tujuan penelitian pendidikan, tahap-tahap penelitian pendidikan dapat diuraikan secara umum.

Tahap-tahap penelitian pendidikan secara umum menurut Sutrisno Hadi dalam Rachman (1993:31-32) antara lain:
(1) Perumusan permasalahan
(2) Penelaahan pustaka
(3) Pengajuan hipotesis
(4) Penentuan variabel
(5) Penyusunan rancangan penelitian
(6) Penentuan populasi dan sampel
(7) Pengumpulan data
(8) Penarikan simpulan
(9) Penyiapan laporan

Secara khusus, tahap-tahap penelitian pendidikan berbeda-beda bergantung jenis dan pendekatan yang digunakan. Misalnya, penelitian tindakan kelas (PTK) langkah-langkah atau tahap-tahap penelitiannya berbeda dengan tahap-tahap penelitian pendidikan secara umum.

Lembaga Pengembangan Pendidikan Profesi (LP3) Universitas Negeri Semarang (2007:12-13) mengemukakan bahwa untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), guru harus mengawali dengan mengidentifikasi masalah dilanjutkan dengan merumuskan masalah yang akan dicari solusinya. Cara untuk mengidentifikasi masalah dapat dilakukan dengan melakukan refleksi terhadap hal-hal yang telah dilakukan untuk pembelajaran. Masalah dapat berasal dari keadaan kelas secara umum atau lebih khusus dari kelas tempat guru mengajar. Setelah masalah ditemukan, guru dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Perencanaan

Dalam tahap perencanaan guru atau peneliti membuat rincian operasional mengenai tindakan-tindakan yang akan dilakukan; menentukan siapa saja yang akan dilibatkan dalam PTK ini; tentukan siapa, akan mengerjakan apa, dan kapan dilaksanakan; alat bantu ppengumpul data apa saja yang harus dipersiapkan dan apa saja serta dari siapa saja informasi akan diperoleh, dan sebagainya.

2) Tindakan

Tindakan (action) merupakal langkah pelaksanaan dari perencanaan.

3) Pengamatan

Pada waktu melakukan tindakan, dilakukan pengamatan secara rinc dan teliti, lakukan pencatatan dan bila perlu perekaman.

4) Refleksi

Langkah akhir dari PTK adalah melakukan refleksi (kajian atau analisis) terhadap apa yang telah dilakukan pada waktu tindakan. Dalam analisis dapat diuraikan seberapa efektif perubahan yang terjadi? Apa yang menjadi penghambat perubahan? Bagaimana memperbaikai perubahan-perubahan yang dibuat dan sebagainya.

Setelah melakukan refleksi, biasanya muncul permasalahan baru atau pemikiran baru, sehingga merasa perlu perencanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang dan refleksi ulang. Demikian langkah-langkah kegiatan terus berulang sehingga membentuk siklus kedua, ketiga, dan sebagainya.

Berbeda dengan penelitian pada umumnya dan penelitian pendidikan jenis lainnya, penelitian tindakan kelas (PTK) mempunyai keunikan yaitu adanya pengulangan pada tahap pengumpulan data. Pengulangan kegiatan penelitian itu dilakukan apabila kegiatan pertama dirasa belum menghasilkan perubahan tetapi justru menimbulkan permasalahan atau pemikiran baru. Pengulangan kegiatan itu disebut siklus.

Subyantoro dalam bukunya “Penelitian Tindakan Kelas Edisi Revisi” sangat menekankan siklus tersebut dengan mengutip pendapatnya Tripp. Menurut Tripp siklus dalam penelitian tindakan kelas disebut sebagai siklus AR. Sedangkan LP3 UNNES dan Kasbolah tidak membuat rincian secara detail mengenai siklus tersebut.Oleh karena itu, menurut saya pendapat Tripp dalam Subyantoro (2009) sangat tepat untuk dijadikan pedoman penelitian tindakan kelas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di tarik simpulan bahwa tahap-tahap penelitian tindakan kelas adalah:

1. Pertama, mengidentifikasi masalah
2. Kedua, merumuskan masalah
3. Ketiga, setelah masalah ditemukan kemudian guru atau peneliti melakukan langkah-langkah penelitian dengan menggunakan siklus AR, meliputi:
a. Perencanaan
b. Tindakan
c. Pengamatan
d. Refleksi

Keempat langkah tersebut merupakan Siklus I. Jika keempat langkah tersebut telah dilakukan dan menimbulkan permasalahan atau pemikiran baru, guru atau peneliti melakukan langkah berikutnya yang kemudian dinamakan Siklus II dan seterusnya sampai perubahan dan peningkatan dalam praktik pembelajaran tercapai.

Penelitian pendidikan selain dapat digunakan untuk mengetahui atau meningkatkan pratik pembelajaran di sekolah, juga dapat digunakan untuk meneliti kebijakan pendidikan. Penelitian ini biasanya dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kebijakan.

Adapun tahap-tahap penelitian kebijakan menurut Muhadjir, dkk. (1998:6-15) yaitu:

 Pertama, penulisan latar belakang atau perumusan tujuan atau permasalahan penelitian atau skopa penelitian dilanjutkan dengan perumusan masalah dan keterbatasan telaah penelitian.

 Kedua, penyusunan kerangka teoretik.

 Ketiga, tahap telaah metodologik. Pada tahap ini ditelaah tentang populasi (wilayah maupun subjek penelitian), dilanjutkan dengan telaah teknik pengambilan sampel. Pada tahap ini juga disusun instrument pengumpulan data.

 Keempat, tahap pengumpulan data.

 Kelima, tahap klasifikasi, tabulasi, dan perekaman data.

 Keenam, tahap analisis.

 Ketujuh, tahap pembuatan simpulan.

 Kedelapan, tahap ‘memberi makna’, dikaitkan dengan “issues”, karena dikaitkan para eksekutif dapat hanyut pada kecenderungan perhatian mayarakat, mengabaikan hal ideal yang perlu dicapai.

 Upaya pemberian makna atas hasil simpulan penelitian ini dikaitkan dengan “Issues” (diambil dari pustaka barat), atau pada ideologi atau pada konsep ideal; dilanjutkan dengan pembobotan dan penyajian alternatif-alternatif.

 Kesembilan, tahap rekomendasi bagi pengambil keputusan. Disusun prioritas pilihan dan pembobotannya, dikaitkan dengan berbagai faktor, seperti tersedianya dana, jangka waktu, dan faktor-faktor lain.

Tahap pertama sampai dengan tahap ketujuh merupakan tahap-tahap penelitian pada umumnya, sedangkan kedelapan dan kesembilan merupakan tambahan yang mencari ciri pokok penelitian kebijakan.

Penelitian pendidikan juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan R & D (Research and Development). Walaupun jenis penelitiannya sama yaitu penelitian bidang pendidikan, namun penelitian dengan pendekatan R & D ini mempunyai tahap-tahap yang berbeda dengan penelitian pendidikan pada umumnya, penelitian tindakan kelas, dan penelitian kebijakan seperti yang telah diuraikan di atas.

Penelitian R & D dalam bidang pendidikan digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan seperti: model-model kurikulum dan pembelajaran, media pendidikan, model pengelolaan pendidikan, model bimbingan dan penyuluhan, evaluasi praktikum dan sejenisnya (Wahab, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa tahap-tahap penelitian pendidikan secara garis besar atau secara umum antara lain:

1. Mengidentifikasi masalah.
2. Merumuskan masalah.
3. Menyusun kerangka teoretik.
4. Telaah metodologik.
5. Pengumpulan data.
6. Klasifikasi, tabulasi, dan perekaman
7. Analisis
8. Membuat simpulan
9. Menyusun laporan

Kesembilan tahap tersebut harus dilakukan pada semua jenis penelitian pendidikan, kecuali pada penelitian kebijakan. Pada penelitian tindakan kelas, teknik pengumpulan data dilakukan dalam beberapa siklus dan setiap siklus mempunyai tahapan sendiri. Sedangkan pada penelitian R & D ada tahap yang dinamakan uji lapangan model dan uji validasi.

Oleh karena itu, sebelum melalukan penelitian pendidikan hendaknya peneliti memahami dulu jenis dan pendekatan yang akan digunakan, kemudian baru melakukan penelitian dengan tahap-tahap sesuai dengan jenis dan pendekatan tersebut agar hasil yang akan dicapai tepat sasaran.

IV. Daftar Pustaka

Kasbolah, Kasihani. 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Universitas Negeri Malang.

Muhadjir, Noeng, dkk. 1998. Metodologi Penelitian Kebijakan Telaah Cross Disiplin. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Panitia Sertifikasi Guru Rayon 12. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Bahan Ajar. Universitas Negeri Semarang.

Rachman, Maman. 1993. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Edisi Revisi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandunng: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wahab, Aziz. Memahami Arah dan Kecenderungan Penelitian pada program Pascasarjana Universitas Pendidikan. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Program Pascasarjana UPI, 13 Juni 2002.

Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia



I. PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menetapkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang brdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam penjelasan, telah ditetapkan strategi pembaharuan pendidikan tentunya dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Strategi tersebut meliputi: 1. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 2. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan dan memberdayakan; 5. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. Penyediaan sarana belajar yang mendidik; 7. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. Pelaksanaan wajib belajar; 10. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. Pemberdayaan peran masyarakat; 12. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan tiga belas strategi tersebut jika konsisten pelaksanaannya sungguh merupakan upaya besar bangsa Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, dalam makalah ini penulis hanya akan membahas pengembangan dan pelaksanaan kurikulum sebagai sarana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.


II. MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

a. Mutu Pendidikan di Indonesia

Dewasa ini semakin terasa adanya keluhan-keluhan yang menyatakan mundurnya mutu pendidikan di tanah air dan semakin terasa kurangnya lapangan kerja yang menampung lulusan pendidikan yang mengakibatkan semakin banyaknya pengangguran.

Hal tersebut senada dengan pendapat Indratno (2007:vii), berbicara tentang sistem pendidikan Indonesia sebenarnya berbicara tentang karut marut permasalahan dari hulu sampai hilir. Dunia pendidikan kita tidak segera beranjak membaik, bahkan semakin memprihatinkan. Sekolah ambruk, gedung rusak, minimnya sarana pendidikan, minimnya gaji guru, lulusan yang tidak berkualitas, kurikulum yang tidak jelas orientasinya, diskriminasi dalam pendidikan, RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan sebagainya masih menjadi berita hangat di media massa. Pemerintah pun merespon, serta mencari solusinya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, misalnya dengan meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis kompetensi, manajemen yang berbasis sekolah, otonomi sekolah, dan sebagainya. Namun, seringkali kebijakan tersebut justru semakin membuat runyam dan menjauhkan diri dari maksud baik untuk mencari solusi perbaikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut penulis pemerintah perlu segera mengambil tindakan aktif sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, agar masyarakat Indonesia tumbuh menjadi masyarakat yang berbudaya, berkembang sesuai dengan perkembangan IPTEK, dan siap menyongsong globalisasi.

b. Solusi Perbaikan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Indonesia.

Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Cara-cara tersebut antara lain:
1. Sistem pendidikan disesuaikan dengan pasar kerja yang tersedia saat ini.
2. Sistem pendidikan disusun dengan tujuan untuk memenuhi lapangan kerja.
3. Sistem pendidikan disusun dengan menyesuaikan perkembangan ilmu-ilmu baru, membina progam pendidikan dan mengembangkan teknologi.


III. KURIKULUM DI INDONESIA

Kurikulum adalah konten atau isi pelajaran yang akan diajarkan atau dipelajari peserta didik (Ansyar, 1989). Sedangkan Pasal 1 butir 9 UUSPN menyebutkan bahwa:
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar mengajar.”

Pasal 27 UUSPN menyebutkan bahwa:
“Kurikulum disusun untuk tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”

Menurut Tambunan dalam buku “Kurikulum untuk Abad ke-21” (1994:332) kurikulum mempunyai komponen, antaralain: (1) tujuan, (2) isi, (3) Metode atau teknik menyampaikan dalam proses belajar mengajar, dan (4) evaluasi program kurikulum itu. Sedangkan landasan-landasan kurikulum adalah: (1) filosofis (pancasila), (2) psikologis, (3) sosiologis/kemasyarakatan, (4) organisasi kurikulum itu sendiri, yang menurut pasal 38 perlu disesuaikan dengan situasi dan keadaan lingkungan setempat dan nasional.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang akan diajarkan atau dipelajari oleh peserta didik, yang mempunyai komponen-komponen dan landasan-landasan tertentu.

Sedangkan kurikulum di Indonesia mempunyai karakteristik dan tujuan yang berbeda pada setiap jenjang pendidikan. Perbedaan itu antara lain:
1. Pendidikan dasar di Indonesia bertujuan untuk mencapai tujuan kemasyarakatan (social reconstruction/social adaptation) dan akademik.
2. Pendidikan menegah di Indonesia bertujuan mencapai tujuan kemasyarakatan dan akademik atau vocasional.
3. Pendidikan tinggi di Indonesia bertujuan mencapai tujuan kemasyarakatan dan akademik.


IV. PENGEMBANGAN DAN PELAKSANAAN KURIKULUM DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Pengembangan kurikulum tidak dapat lepas dari berbagai aspek kehidupan dan factor-faktor yang mempengaruhinya, mulai dari pemikiran sampai pada pelaksanaannya, agar kurikulum itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.

Pengembangan kurikulum dimulai dengan suatu proses perencanaan, yaitu menetapkan berbagai kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan dan sasaran, menyusun periapan dan pelaksanaan penyajian yang sesuai dengan segala persyaratan kebudayaan, sosial, dan pribadi. Oleh karena itu, perencanaan kurikulum harus disertai dengan analisis yang bertalian dengan berbagai akibat pendekatan-pendekatan yang dilakukan sebelum penyajian tersebut dilaksanakan. Dalam perencanaan kurikulum, terjadi suatu proses pengembangan misi berdasarkan nilai-nilai pengembangan kebijakan; menetapkan tujuan, sasaran dan standar; memilih aktivitas belajar; menjamin implementasi yang tepat, mengadakan peninjauan kembali dan siap melakukan revisi bila ternyata terjadi kesalahan.

Pengembangan kurikulum di Indonesia telah terjadi berkali-kali. Hal ini bertujuan agar kurikulum yang digunakan pada sekolah-sekolah mampu menghasilkan produk pendidikan yang unggul, menguasai IPTEK, berdasarkan IMTAK, dan siap bersaing dengan dunia luar.

Pengembangan kurikulum yang pertama terjadi pada tahun 1994, yaitu munculnya kurikulum 1994 yang merupakan hasil penyesuaian kurikulm 1984. Pada masa itu terjadi penyederhanaan kurikulum. Penyederhanaan dilakukan pada jumlah mata pelajaran, bahasa yang sederhana (mudah dipahami guru) dan istilah baku (sesuai dengan format perundang-undangan) dan format GBPP (Karyadi dalam buku “Kurikulum untuk Abad ke-21”, 1994:60).

Selanjutnya dilakukan pengembangan lagi yaitu kurikulum 1994 dikembangkan menjadi kurikulum 2004 yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) memfokuskan pada kompetensi tertentu, berupa paduan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan para guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sarana belajar, yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari (Mulyasa, 2004:61).

Depdiknas (2002) melukiskan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:

Setelah KBK dilaksanakan, ternyata tantangan dunia pendidikan belum terjawab semua. Oleh karena itu, pemerintah menyempurnakan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. KTSP sangat meluaskan partisipasi kretaif guru, pengelola sekolah, dan murid dalam proses belajar mengajar berdasarkan suatu rumusan kompetensi yang telah ditetapkan. KTSP dimaksudkan agar kurikulum dapat disesuaikan dengan kemampuan sekolah, sehingga dapat meminimalisasikan kendalan dalam proses KBM.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada pengaruh yang sangat kuat antara penyusunan kurikulum dengan mutu pendidikan. Maka dari itu, hendaknya pemerintah sangat berhati-hati dan mempertibangkan berbagai aspek dalam penyusunan kurikulum agar mutu pendidikan terus meningkat sesuai dengan arus globalisasi.


V. SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan maka simpulan yang dapat dipaparkan dalam makalah ini adalah :

Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, dan kurangnya lapangan pekerjaan yang menampung lulusan pendidikan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran.

Pengembangan dan pelaksanaan pendidikan nasional harus disesuaikan dengan pasar kerja, memenuhi lapangan kerja, dan sesuai dengan perkembangan IPTEK.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan mengembangkan kurikulum.

Di Indonesia telah terjadi beberpa kali pengembangan kurikulum, diantaranya kurikulum 1984 dikembangkan menjadi kurikulum 1994, kemudian dikembangkan lagi mejadi kurikulum 2004 (KB), dan disemprnakan pada kurikulum 2006 (KTSP) yang sedang dilaksanakan sekarang ini.

VI. Daftar Pustaka

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesa II. 1994. Kurikulum untuk Abad ke-21. Jakarta: Grasindo.

Ansyar, Muhammad. 1989. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.

Indratno, A. Ferry T. 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidiklan Alternatif. Jakarta: Kompas.

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Artikel tentang Modalitas dan Macam-macamnya



I. Latar Belakang

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh (Alwi, 1998). Oleh karena itu, kalimat dapat dilihat sebagai satuan dasar dalam suatu wacana atau tulisan. Suatu wacana dapat terbentuk jika ada minimal dua buah kalimat yang letaknya berurutan dan sesuai dengan aturan-aturan wacana.
Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di dalam pernyataan itu sekurang-kurangnya terdapat predikat dan subjek, baik disertai objek, pelengkap, atau keterangan maupun tidak, bergantung kepada tipe verba predikat kalimat tersebut. Suatu untaian kata yang tidak memiliki predikat disebut frasa. Untuk menentukan predikat suatu kalimat, dapat dilakukan pemeriksaan apakah ada verba (kata kerja) dalam untaian kata itu. Selain verba, predikat suatu kalimat dapat pula berupa adjektiva dan nomina.
Dalam bentuk lisan, unsur subjek dan predikat itu dipisahkan jeda yang ditandai oleh pergantian intonasi. Relasi antar kedua unsur ini dinamakan relasi predikatif, yaitu relasi yang memperlihatkan hubungan subjek dan predikat. Di dalam sebuah kalimat terdapat pula suatu keterangan yang disebut modalitas. Modalitas berhubungan dengan sikap pembicara. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan pengertian modalitas dan macam-macamnya.

II. Modalitas

a. Pengertian Modalitas

Modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, yakni mengenai perbuatan, keadaan, peristiwa, atau sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan, kemungkinan, kinginan, atau keizinan. Dalam bahasa Indonesia modalitas dinyatakan secara leksikal (Chaer, 1994: 162).

Modalitas (modality) menurut Hasanudin dkk. (2009: 772) adalah:

1) Klasifikasi proposisi menurut hal menyuguhkan atau mengingkari kemungkinan atau keharusan;

2) Cara pembicara menyatakan sifat terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi;

3) Makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan dalam kalimat; dalam Bahasa Indonesia modalitas dinyatakan seperti barangkali, harus, akan, dsb. Atau denga adverbia kalimat seperti pada hakikatnya menurut hemat saya, dsb.

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa keterangan modalitas menunjukka sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, terhadap pendengar, terhadap lingkungan yang dibicarakan, atau gabungan antara hal-hal itu sendiri. Sedangkan secara eksplisit biasanya modalitas itu terdiri atas sebuah kalimat (Samsuri, 1985: 245).

Perhatikan contoh berikut:

(a) i. Anak itu belajar bahasa.
ii. Aku pikir (Anak itu belajar bahasa) baik.
iii.Aku pikir baik anak itu belajar bahasa.
iv.Sebaiknya anak itu belajar bahasa.


(b) i. Orang hidup mesti bekerja.
ii. Itu (orang hidup mesti bekerja) hemat saya.
iii.Hemat saya orang hidup mesti bekerja.
iv.Hemat saya orang hidup mesti bekerja.

Kalimat (ii) pada kedua contoh di atas merupakan “sikap” pembicara. Kalimat (iii) merupakan gabungan ‘sikap itu’ dengan ‘apa yang dibicarakan’. Oleh karena itu, secara implisit dinyatakan sikap pembicara itu mengungkapkan apa yang dipahaminya pada sebuah kalimat. Sedangkan pada kalimat (iv), sikap pembicara pada umumnya diungkapkan oleh kata atau frasa modalitas saja.

Perhatikan pula pemakaian kata itu dalam kalimat-kalimat (ii). Kata itu dalam kalimat-kalimat (ii) mengacu ke seluruh kalimat (i). Hal ini menguatkan anggapan bahwa pemakaian kata itu secara metafora, yaitu mengacu kembali ke sebuah kalimat (atau frasa) sebelumnya.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa modalitas atau M merupakan sikap pembicara. Oleh karena itu, M biasanya tedapat pada bagian depan kalimat, meskipun ada pula yang terdapat di bagian tengah.

b. Macam-macam Modalitas

Modalitas dalam Bahasa Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu modalitas intensional, epistemik, deontik, dinamik, dan aletis.

(1) Modalitas Intensional
Modalitas intensional merupakan modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau ajakan. Modalitas ini ditandai dengan unsur leksikal seperti ingin, mau, tolong, mari, ayo, dan silakan.

Contoh:
Saya ingin segera lulus S3 di UNNES.
Dinar mau membeli baju baru.
Tolong dibawakan LCD ke ruang kuliah kita.
Mari, masuk!
Ayo kita sukseskan program keluarga berencana.
Silakan dicicipi hidangan khas Pekalongan ini.

(2) Modalitas Epistemik

Modalitas epistemik adalah modalitas yang menyatakan kemungkinan, kepastian, dan keharusan. Modalitas ini ditandai dengan unsur leksikal seperti mungkin, bisa jadi, belum pasti, dan harus.

Contoh:

Dia mungkin tidak bisa datang besok pada khitanan anak kita.
Bisa jadi anak itu sempat terjatuh karena badannya biri-biru.
Kami pasti datang pada pesta pernikahan itu, jangan khawatir!
Dia belum pasti datang karena kesibukannya.
Makalah ini harus buat sebagai salah satu syarat kelulusan.

(3) Modalitas Deontik

Modalitas deontik adalah modalitas yang menyatakan keizinan atau keperkenanan. Unsur penandanya adalah unsur leksikan seperti izin dan perkenan.

Contoh:

Saya mohon izin tidak mengajar karena anak saya sakit.
Atas perkenan beliaulah saya dapat mengajar di tempat ini.

(4) Modalitas Dinamik

Modalitas dinamik adalah modalitas yang menyatakan kemampuan. Unsur penandanya bisa berupa unsur leksikal bisa, dapat, dan mampu.

Contoh:

Kami semua bisa menjawab soal itu dengan benar.
Semua orang sebenarnya dapat menabung jika mau.
Dinaria mampu mengangkat kopernya yang berat itu.

(5) Modalitas Aletis

Modalitas Aletis adalah modalitas yang bersangkutan dengan keperluan. Penandanya unsur leksikal harus.

Contoh:

Makalah ini harus dikumpulkan secepatnya, kalau tidak akan menghambat kelulusan.

Selain pendapat di atas, ada beberapa pendapat mengenai macam-macam modalitas. Pendapat lain mengatakan bahwa modal epistemik dalam karakteristik non teknis tidak lebih mudah dari pada mode aletik. Secara prinsip ada dua macam model epistemik yang dapat dibedakan: obyektif dan subyektif. Hal ini bukanlah perbedaan yang dapat dibedakan dengan jelas dalam pemakaian bahasa sehari-hari; dan justifikasi epistemologinya untuk menyatakan ketidakpastiannya.

Di bawah ini adalah ppernyataan yang menggambarkan perbedaan antara modal epistemik subjektif dengan modal epistemik objektif:
(1) Alfred mungkin belum menikah.
(2) Alfred pasti belum menikah.
Interpretasi dari pembicara pada kalimat (1) adalah menyatakan ketidakyakinannya. Apabila yang dimaksud demikian, mungkin pembicara akan menambah kata-kata seperti dibawah ini:
(3) Tetapi aku tidak mempercayai hal itu, atau
(4) Dan aku tidak yakin apa yang aku pikirkan tentang dia itu benar.
Kalimat tersebut jelas mengindikasikan subjektifitas pembicara. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan modal epistemik subjektif dan epistemik objektif secara teori bisa dipertahankan, apabila hal ini adalah pemikiran yang terus dikembangkan, di satu pihak terletak pada modal aletik dan dilain pihak terletak pada modal epistemik sunjektif, dan kemungkinan keduanya berasimilasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa modal epstemik objektif merupakan prinsip yang bisa terukur dalam skala kebutuhan dan ketidak mungkinan.

III. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka simpulan makalah ini adalah:
1. Modalitas merupakan keterangan dalam kalimat yang menunjukkan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.
2. Modalitas dibagi menjadi lima, yaitu modalitas intensioal, epistemik, deontik, dinamik, dan aletis.

IV. Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 1998. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 1999. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Malang: Sastra Hudaya.

W. S., Hasanuddin. 2009. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.