Mengaktifkan Kelas dengan 'Bola Pertanyaan'

Rabu, 20 Oktober 2010



Kemampuan bertanya menunjukkan pikiran yang selalu ingin tahu dan merupakan tanda dari pembelajar yang baik. Mengajak pembelajar bertanya terhadap materi yang baru saja diajarkan akan berpengaruh positif pada pembelajaran mereka. Kebanyakan orang dalam kebudayaan kita secara tidak sadar dikondisikan untuk percaya bahwa banyak bertanya berarti bodoh. Pada kenyataannya tidak.

Tidak hanya itu, kita seringkali menyaksikan pembelajaran di kelas dimonopoli oleh guru. Meskipun metode pembelajaran yang dianjurkan sekarang adalah kontekstual, akan tetapi masih banyak guru yang menggunakan cara atau metode konvensional (guru aktif siswa pasif). Sehingga kelas terasa kaku dan pasif. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kurangnya pengetahuan guru tentang metode pembelajaran yang tepat.

Salah satu metode pembelajaran yang paling sederhana adalah metode bertanya. Dengan bertanya siswa menjadi lebih aktif dan memungkinkan untuk menyerap pelajaran lebih banyak daripada ketika siswa bersikap pasif. Ada beberapa teknik bertanya yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Salah satunya adalah ‘teknik bola pertanyaan’.

Teknik “Bola Pertanyaan” dapat dilakukan dengan memberikan selembar kertas kosong kepada setiap siswa. Tiap-tiap siswa diminta menuliskan pertanyaan dengan huruf kapital di kertas tersebut tanpa menuliskan nama, kemudian meremasnya menjadi seperti bola. Setelah selesai, bola pertanyaan itu kemudian dikumpulkan menjadi satu ke dalam sebuah keranjang. Setelah terkumpul bola pertanyaan dilemparkan ke semua siswa. Setelah semua siswa mendapatkan bola pertanyaan, mereka wajib menjawab pertanyaan yang diterimanya. Setelah beberapa menit, mintalah setiap orang membaca pertanyaan mereka di depan kelas dan memberi jawabannya. Guru sebagai fasilitator dan siswa lain dapat mengomentari bila diperlukan.

Teknik “Bola Pertanyaan” tersebut selain dapat merangsang anak untuk berpikir, juga dapat mencairkan kebekuan kelas. Sehingga kelas menjadi aktif dan menyenangkan.

(Karatika Eka Okirianti, S.S)

Pengertian Wacana dan Macam-macamnya

Pengertian wacana dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan konteks sosial dalam pemakaian bahasa, sedangkan dari segi linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Di samping itu, Hawthorn (1992) juga mengemukakan pengertian wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Sedangkan Roger Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.

Menurut Alwi dkk (2003: 419) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Alwi juga menyatakan bahwa untuk membicarakan sebuah wacana dibutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.

Wacana menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik Edisi Ketiga (1993: 231) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb). Kridalaksanan membagi wacana menjadi empat yaitu:

(1) Wacana langsung (direct speech, direct discourse)
Wacana langsung adalah wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi.
Contoh: Salim berkata, “Saya akan datang.”

(2) Wacana pembeberan (expository discourse)
Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis.

(3) Wacana penuturan (narrative discourse)
Wacana penuturan adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.

(4) Wacana tidak langsung (indirect discourse)
Wacana tidak langsung adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara, mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
Contoh: Salim berkata bahwa ia akan datang.

Arifin dkk. (2008: 103-104) mengemukakan pendapatnya bahwa wacana yang utuh mempunyai kesinambungan informasi di antara kalimat-kalimat di dalamnya sehingga membentuk informasi yang utuh.

Contoh :

(1) “Kekerapan pemakaian sebuah kata hampir tidak dapat diramalkan karena hal itu amat bergantung pada perkembangan kebutuhan dan cita rasa masyarakat pemakainya. Bisa jadi sebuah kata yang dulu amat kerap digunakan, kini hampir tak terdengar lagi dan pada masa yang akan datang mungkin kata itu akan hilang dari pemakaian”.

(2) “Perubahan orientasi dari budaya lisan ke budaya tulis hampir tidak terelakkan lagi pada masa sekarang ini. Bahasa Indonesia haruslah tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai bahasa bangsa. Orientasi itu dapat menimbulkan kontak dalam bahasa tulis. Jadi, ciri-ciri khas bahasa Indonesia tetap harus dipertahankan. Akibatnya, ragam bahasa tulis akan banyak diwarnai oleh konta dalam ragam itu.”

Contoh paragraf (1) di atas merupakan sebuah wacana yang utuh karena subjek hal itu pada klausa anak kalimat pada kalimat pertama telah menghubungkan klausa itu dengan klausa pertama karena hal itu mengacu pada kekerapan pemakaian kata yang terdapat pada klausa pertama. Kalimat kedua menjelaskan informasi pada kalimat pertama, yakni sebuah kata dulu kerap dipakai, kini hampir tak terdengar, dan nanti kembali kerap terdengar atau sama sekali hilang dari pemakaian.

Contoh (2) bukan sebuah wacana karena kalimat-kalimat di dalamnya tidak menunjukkan adanya keterpautan bahasa ataupun kesinambungan informasi. Setiap kalimat pembentuknya berdiri sendiri, tidak memiliki hubungan semantis di antara proposisi yang terdapat pada kalimat lainnya. Dengan demikian contoh (2) lebih tepat jika dinamakan kumpulan kalimat (bukan sebuah wacana).

Sedangkan, menurut J.S. Badudu (2000) wacana yaitu rentetan kalimat yang ‘berkaitan dengan’, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi dan berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, serta dapat disampaikan secara lisan dan tertulis.

Mills (1994) mengemukakan pengertian wacana berdasarkan pendapat Foucault bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.

(1) Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.
(2) Wacana menurut konteks penggunaannya merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu.
(3) Sedangkan menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.

Di samping beberapa pendapat di atas, Leech juga mengemukakan pendapatnya mengenai wacana. Menurut Leech, wacana dapat dibedakan berdasarkan fungsi bahasa, saluran komunikasinya, dan cara pemaparannya.
(1) Berdasarkan fungsi bahasa

a. Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;

b. Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;

c. Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa;

d. Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;

e. Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.


(2) Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.

(3) Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural.


Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap yang mempunyai kohesi dan koherensi dan berkaitan dengan konteks tertentu, yang dapat disampaikan secara lisan (wacana lisan) dan tertulis (wacana tulis).